Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
7/Pid.Pra/2020/PN Arm | DJEMY KALENGKONGAN | KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR DIMEMBE Cq. SATUAN RESERSE KRIMINAL UMUM | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Rabu, 14 Okt. 2020 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 7/Pid.Pra/2020/PN Arm | ||||
Tanggal Surat | Rabu, 14 Okt. 2020 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Perihal : Permohonan Praperadilan terkait tidak sahnya Penetapan Tersangka a.n Djemy Kalengkongan;
Dengan hormat, Kami yang bertanda-tangan di bawah ini : Nama : Wensy Wengke, SH; NIK : 7171073107850005; Tempat Lahir : Manado; Tanggal Lahir : 31-07-1985; Umur : 35 Tahun; Jenis Kelamin : Laki-Laki; Warga Negara : Indonesia; Alamat : Pakowa, Lingkungan VI, Kecamatan Wanea, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; Agama : Islam; Pekerjaan : Advokat; Aktif Mulai : 1 Juni 2016 Aktif Sampai : 31 Desember 2021 Status Kawin : Belum Kawin; Pendidikan : Strata 1 (Ilmu Hukum); Keterangan : 0813 4065 7643;
Nama : Hendra Putra Juda Baramuli, SH.,MH; NIK : 7173030612840001; Tempat Lahir : Manado; Tanggal Lahir : 06-12-1984; Umur : 35 Tahun; Jenis Kelamin : Laki-Laki; Warga Negara : Indonesia; Alamat : Perum Agape Griya, Blok F II, Nomor 29, Jl Worang, By Pass, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Kode Pos 95372; Agama : Kristen Protestan; Pekerjaan : Advokat; Aktif Mulai : 19 Oktober 2012; Aktif Sampai : 19 Oktober 2020; Status Kawin : Kawin; Pendidikan : Strata 2 (Ilmu Hukum); Keterangan : 085397137833;
Berkantor dan beralamat di Perum Agape Griya, Blok F II, Nomor 29, Jl Worang, By Pass, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Kode Pos 95372. Bertindak baik secara sendiri maupun secara bersama-sama untuk dan atas nama :
Nama : Djemy Kalengkongan; NIK : 7106082605700001; Tempat Lahir : Manado; Tanggal Lahir : 26-05-1970; Jenis Kelamin : Laki-Laki; Warga Negara : Indonesia; Alamat : Jaga VI, Desa Maumbi, Kec Kalawat, Kab Minahasa Utara, Prov Sulawesi Utara; Agama : Kristen; Pekerjaan : Kepala Desa Maumbi; Status Kawin : Kawin; Keterangan : Sebagai Tersangka;
Selanjutnya mohon disebut sebagai …………………………………………….... Pemohon;
Dengan ini mengajukan Gugatan Permohonan Praperadilan perihal penetapan tersangka tidak sah kepada :
Nama jabatan : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta, C.q Kepala Kepolisian Daerah Sulawesu Utara C.q. Kepala Kepolisian Resort Minahasa Utara C.q Penyelidik, Penyidik in casu. Alamat : Jl. Worang By Pass No. 18, Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara;
Selanjutnya disebut sebagai………………………………………………..………..Termohon;
Adapun yang menjadi dasar, fakta, peristiwa dan alasan-alasan hukum permohonan Praperadilan terkait Penetapan tersangka tidak sah, dikonstruksi dan diuraikan dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
Dasar Hukum Permohonan Praperadilan;
Demikian uraian dalil sistematika diatas :
Dasar Hukum Permohonan Praperadilan;
Bahwa upaya hukum Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak.
Bahwa idealnya tujuan Praperadilan seperti yang termaksud dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakan hukum (kepastian hukum), keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.
Bahwa Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna dan untuk menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang dimaksudkan dalam Konsiderans menimbang huruf (a) dan (c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan sendirinya menjadi Roh KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut : Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibanya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :
Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karenan kekliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan,
Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan di pengadian negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77.
Bahwa berpijak pada maksud poin 4 (empat) diatas maka Pemohon mendalilkan sebagai berikut :
Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun Penuntut Umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan Pemohon menjadi Tersangka;
Bahwa dengan ditetapkanya Pemohon menjadi Tersangka tanpa melalui prosuder hukum yang benar sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, maka nama baik, hak bebas dan hak untuk hidup aman Pemohon telah dirampas;
Bahwa akibat tindakan cacat hukum dari Termohon yang menggunakan kewenangannya secara keliru telah mengakibatkan kerugian materiil dan imateriil, jika dihitung maka tidak bisa terbayarkan dengan rupiah.
Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang menjadi tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dengan prosedur yang benar seperti yang ditentukan dalam KUHAP atau Perundang-Undangan yang berlaku. Apabila proses tersebut tidak berjalan dengan baik dan benar maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan harus dibatalkan.
Bahwa yang menjadi acuan Permohonan Praperadilan ini antara lain :
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, dasar hukum yang mendukung Permohonan Praperadilan Pemohon antara lain :
Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum;
Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Dan,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Hak-Hak Sipil dan Politik;
Fakta dan Persitiwa hukum:
Bahwa Pemohon merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang aktif menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai Kepala Desa/Hukum Tua Desa Maumbi Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara sejak 18 Desember 2013 sampai dengan 18 Desember 2019;
Bahwa Pasal 1 angka 8 UU 51 Tahun 2009 menyebutkan pengertian Pejabat TUN (Tata Usaha Negara) yakni : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU 30 Tahun 2014 juga memberikan pengertian mengenai Pejabat Pemerintahan, yakni: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka kepala desa dapat dikategorikan sebagai Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Sehingga, kepala desa merupakan pejabat TUN. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang menyatakan : Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Karena kepala Desa merupakan pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan desa, maka Kepala Desa dapat dikategorikan sebagai Pejabat TUN yang memiliki wewenang untuk membuat suatu keputusan atau beschiking yang berisi tindakan hukum bersifat konkret, individual, dan final. Bahwa Pemohon dalam menjalankan kewenangan, tugas dan tanggung-jawabnya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara/Kepala Desa, selalu bertindak berdasarkan maksud ketentuan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik serta Peraturan Perundang-undangan yang terkait, antara lain: Dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik :
Asas Kepastian hukum;
Dalam Peraturan Perundang-undangan yang terkait :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Bahwa dalam proses menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, berdasarkan permintaan pemilik tanah atas nama Ringking Marina Korah melalui Karel William Kambey meminta kepada Pemohon untuk membuat surat keterangan kepemilikan tanah;
Bahwa selanjutnya berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon dan kemudian telaah bukti-bukti penguasaan hak dari Ringking Marina Korah serta meneliti legal standing Karel William Kambey maka Pemohon membuat surat keterangan kepemilikan tanah nomor 132, folio 61, tertanggal 05 Mei 2017;
Bahwa dalam penerbitan surat keterangan kepemilikan seperti yang dimaksud pada poin 5 (lima) diatas ternyata tidak disetujui oleh Oktavianus Wurangian yang berdalil jika tanah yang diterbitkan surat keterangan kepemilikan oleh Pemohon merupakan tanah miliknya;
Bahwa akibat dari keberatan Oktavianus Wurangian terhadap penerbitan surat keterangan kepemilikan dimaksud, maka Oktavianus Wurangian melaporkan Pemohon ke Kantor Termohon dengan Laporan Polisi bernomor 435/VII/2019/Sulut/Resminut, tanggal 03 Juli 2019 terkait dugaan Pemalsuan Surat seperti yang dimaksud Pasal 263 KUHPidana (Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian);
Bahwa tanpa proses penyelidikan yang matang berlandaskan asas Ultimum Remedium serta asas prae judicieel geschill (perselisihan peradilan) sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Termohon secara serta merta langsung melakukan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Sidik nomor 154/XII/2019/Res Minut, tertanggal 09 Januari 2019, kemudian dilanjutkan dengan ditetapkanya Pemohon sebagai Tersangka dugaan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana maksud Pasal 263 KUHPidana;
Bahwa dalam proses pelimpahan berkas dari Termohon/Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum/JPU diketahui jika JPU telah menolak berkas penyidik sebanyak 2 (dua) kali, akan tetapi Termohon tetap melanjutkan penyidikan dimaksud;
Bahwa untuk itu atas penyidikan lanjutan serta penetapan tersangka kepada diri Pemohon maka kami merasa keberatan sehingga mendaftarkan gugatan Praperadilan perihal penetapan Tersangka tidak sah di Kepanitraan Pengadilan Negeri Minahasa Utara;
Bahwa adapun keberatan-keberatan terkait penetapan tersangka dimaksud didukung oleh kaedah-kaedah hukum yang terurai dalam poin C, D, E dan F dibawah ini :
Penyelidikan dan Penyidikan dugaan tindak pidana in casu cacat hukum sehingga mengakibatkan penetapan tersangka menjadi tidak sah;
Bahwa sebelum kami masuk pada hal-hal pokok, perkenankan kami mengurai kode etik Termohon dan untuk sekiranya bisa dijadikan tolok ukur Hakim Praperadilan menelaah terkait dugaan adanya penyimpangan dalam lidik dan sidik Termohon. Menimbang : Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut; Mengingat : Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 14 yang terurai sebagai berikut : Pasal 14 : Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang : mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Bahwa rangkaian tindakan penanganan dugaan tindak pidana oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik harus mematuhi administrasi pemberkasan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Rangkaian tindak itu meliputi penyelidikan dan penyidikan. Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
Contoh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asas lex specialis derogat legi generalis : Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana : Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Bahwa pada tahapan penyelidikan Termohon tidaklah berlandaskan pada hukum acara yang baik dan kaedah hukum yang tepat serta memperhatikan maksud pembuat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memposisikan penyelidikan dan penyidikan merupakan satu bagian yang berhubungan erat sehingga sepantasnya tahapan penyelidikan itu harus menguji dengan benar apakah ditemukan unsur pidananya atau tidak, dengan berpatokan pada kaedah hukum yang terkait sebelum memasuki tahap penyidikan. Pada perkara a quo Termohon tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan maksud ketentuan hukum tersebut pada penjelasan diiatas (poin 1/satu sampai 4/empat) sehingga kiranya Hakim Praperadilan a quo dapat menelaah jika Penyidikan dugaan tindak pidana in casu tidak layak dilakukan sebab penyelidikan dugaan tindak pidana a quo cacat hukum;
Bahwa faktanya penyelidikan dugaan tindak pidana in casu terdapat banyak penyimpangan hukum akan tetapi dipaksakan untuk memasuki tahap penyidikan guna untuk mencari dan menemukan bukti yang cukup. Sikap Termohon ini sangatlah tidak profesional dengan menggunakan jabatan dan atau kewenangan kemudian mengambil kesempatan dalam lemahnya system hukum pidana sehingga memaksa adanya penyidikan, jikapun demikian seharusnya dapat lebih mempertajam pemahaman Termohon/Penyidik jika dugaan tindak pidana in casu harus dihentikan dengan memperhatikan fakta-fakta sebagai berikut : Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dalam kaedah hukum yang tersirat pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menginginkan tahapan penyelidikan terkait penemuan unsur haruslah matang terlebih dahulu sebelum memasuki tahapan pencarian 2 (dua) alat bukti yang cukup; Kutipan Akte Kelahiran Nomor 368/1980 tertanggal 16 september 1980 yang dikeluarkan oleh pegawai luar biasa pencatatan sipil telah lahir Ringking Marina (Maria Margaretha Ignasia) anak perempuan adopsi dari suami isteri Ticoalu Maramis Korah (Max Ticcy) dan Go, Tjoe Hiang;
Akte Pernikahan Nomor 802/1964 yang dikeluarkan Pegawai Luar Biasa Tjatatan Sipil Djakarta yaitu antara Korah Max Ticcy dan Go, Tjoe Hiang telah menikah di Djakarta pada tanggal 24 Desember 1964.
Kutipan Akte Kematian atas nama Maramis Ticoalu Korah yang meninggal pada tanggal 26 Juni 2006 yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Kependudukan KB dan Catatan Sipil Kabupaten Minahasa Utara.
Kutipan Akta Kematian atas nama Go Maria Elisabeth yang meninggal pada tanggal 6 September 2018 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi.
Surat Keterangan Ahli Waris tanggal 2 Mei 2019 yang dikeluarkan oleh Hukum Tua Desa Maumbi Djemy Kalengkongan yang menerangkan bahwa Ringking Marina Korah adalah ahli waris dari almarhum Maramis Ticoalu Korah dan Almarhumah Go Mariah Elisabeth dan hubungan keluarga dengan almarhum dan almarhumah sebagai anak.
Kartu Keluarga Nomor 3275021707090013 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi atas nama Kepala Keluarga Korah Go Maria Elisabeth;
Garisan tanah-tanah Rakjat Desa Maumbi, Ketjamatan Airmadidi;
Bukti Putusan Pidana yang menguatkan kedudukan hukum Pemohon dan atau melemahkan kedudukan hukum Pelapor :
Salinan Putusan Pidana Nomor 141/Pid.B/2017/PN Arm atas nama Terdakwa Ferry Manewus, dan
Salinan Putusan Pidana Nomor 142/Pid.B/2017/PN Arm atas nama Terdakwa Estefina Kapoh;
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung :
Yurisprudensi Pidana Nomor 218 K/Pid/2004, Tanggal 4 November 2004; BAHWA JUDEX FACTIE TELAH SALAH MENERAPKAN HUKUM, Yurisprudensi Pidana Nomor 628K/PID/1984; PENGADILAN TINGGI SEBELUM MEMUTUS POKOK PERKARA INI SEHARUSNYA MENUNGGU DULU PUTUSAN PENGADILAN YANG AKAN MENENTUKAN STATUS PEMILIKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT MEMPUNYAI KEKUATAN PASTI; Yurisprudensi Pidana Nomor 129K/KR/1979; KARENA PEMERIKSAAN PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI TELAH LANJUT. KEMUDIAN TERBENTUR PADA "PRAEJUDICIEEL GESCHIL" TENTANG HAK MILIK ATAS TANAG TERMAKSUD, MAKA TIDAK DAPAT DIGUNAKAN LEMBAGA "AFWEIJZENDE BESCHIKKING" MENURUT PASAL 250 (3) RIB, YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN SEBELUM PERKARA DIPERIKSA. ACARA YANG SEHARUSNYA DITEMPUH IALAH SIDANG DITUNDA SAMPAI HAKIM PERDATA MENENTUKAN SIAPA YANG BERHAK ATAS TANAH ITU DENGAN MEMBERIKAN WAKTU TERTENTU KEPADA TERDAKWA UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERDATA ATAU LANGSUNG DIPUTUS OLEH HAKIM PIDANA BERDASARKAN BUKTI-BUKTI YANG DIDAPATKAN DALAM PEMERIKSAAN PIDANA; Yurisprudensi Pidana Nomor 048K/KR/1966; HUKUM ACARA PIDANA ADALAH TERMASUK HUKUM PUBLIK YANG MEMUAT KETENTUAN-KETENTUAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN TERHADAP HAK-HAK AZASI DARI TERDAKWA, SEHINGGA SEGALA PENAFSIRAN HARUS DILAKUKAN SECARA LIMITATIF; Yurisprudensi Pidana Nomor 042K/KR/1965; SUATU TINDAKAN YANG PADA UMUMNYA DAPAT HILANG SIFATNYA SEBAGAI MELAWAN HUKUM BUKAN HANYA BERDASARKAN SUATU KETENTUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN, MELAINKAN JUGA BERDASARKAN AZAS-AZAS KEADILAN ATAU AZAS-AZAS HUKUM YANG TIDAK TERTULIS DAN BERSIFAT UMUM, DALAM PERKARA INI MISALNYA FAKTOR-FAKTOR NEGARA TIDAK DIRUGIKAN, KEPENTINGAN UMUM DILAYANI DAN TERDAKWA SENDIRI TIDAK MENDAPATKAN UNTUNG; Bahwa dalil kami terkait penyelidikan perkara a quo cacat hukum telah bersandarkan pada telaah maksud pembuatan undang-undang serta peraturan perundang-undangan terkait. Untuk kepastian hukum, kami juga telah mengeksaminasi perseden yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Airmadidi dalam memeriksa dan mengadili perkara dengan karakter yang sama yakni PERKARA PIDANA NOMOR : 120/Pid. B/2019/PN. Arm a.n Terdakwa “OKTAVIAN WILHELMUS LANGELO”, Terdakwa tersebut juga seorang Pejabat Tata Usaha Negara/Kepala Desa Paslaten yang didakwa telah melakukan pemalsuan surat, akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Airmadidi pada prinsipnya menimbang, bahwa oleh karenanya permintaan Jaksa Penuntut Umum agar Terdakwa dipidana tidaklah tepat oleh sebab hakekat perbuatan Terdakwa bukan merupakan lingkup dari hukum pidana dalam in casu dakwaan tunggal yaitu dakwaan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tetapi merupakan ruang lingkup hukum administrative. Oleh karenanya amar putusanya “ Menyatakan terdakwa “OKTAVIAN WILHELMUS LANGELO” telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana” kemudian “Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum” (Vide Bukti Surat Pemohon);
Termohon telah melakukan diskresi keliru;
Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapi. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seorang terhadap persoalan yang dihadapi. Diskresi Polisi dapat diartikan sebagai suatu kebijakan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Hal Kewenangan diskresi merupakan suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan keyakinan dan lebih menekankan pertimbangan moral ketimbang dalam kerangka hukum. Meskipun demikian diskresi dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Polisi selaku pelaku diskresi, yaitu bertindak seolah-olah tidak berdasarkan hukum positif yang berlaku, apabila dikaji lebih jauh justru itu suatu tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu kesejahteraan, kenyamanan dan ketertiban.
Berdasarkan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaianya sendiri. “Pertimbangan demi kepentingan umum tersebut adalah diantara alternatif berbagai macam pertimbangan yang diyakin oleh anggota polisi itu, yakni: 1) Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibandingkan dengan hukum positif yang berlaku. 2) Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat. 3) Kebijakan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada. 4) Atas kehendak mereka sendiri 5) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan adanya pertimbangan yang harus dilakukan oleh anggota polisi dalam mempertimbangkan diskresi yang akan dilakukannya, maka setidaknya pertimbangan yang obyektif dan bertanggung jawab akan mempengaruhi penilaian dari anggota polisi tersebut. “Ditinjau dari sudut penilaian petugas, maka petugas itu akan mengukur atau mempertimbangkan tindak pidana itu: Pertama, sampai sejauh mana kadar hukum yang di langgar itu, apakah terlalu berat, biasa, sedang atau ringan-ringan saja; Kedua, bagaimana kebijaksanaan lembaga, pimpinan atau atasan baik tertulis maupun tidak (politik kriminal), terhadap kejahatan atau pelanggaran hukum itu; Ketiga, sampai dimana sikap-sikap atau rasa hormat (respect) pelanggar hukum itu terhadap petugas. Kalau seandainya tersangka bersikap tidak simpatik, melawan, keras kepala, maka sikap-sikap ini akan mempengaruhi petugas di dalam menentukan pemberian wewenang diskresi itu; Keempat, bahwa polisi sebagai penegak kamtibmas akan selalu memikirkan sesuatu ataupun dari segi pertimbangan keamanan akan mempengaruhi penentuan pemberian diskresi atau tidak. Resiko keamanan dan ketertiban akan selalu diperhitungkan dalam setiap keadaan, baik keamanan dirinya, orang lain atau masyarakat. ”
Bahwa dalam penanganan dugaan tindak pidana in casu Termohon telah melakukan diskresi keliru, demikian catatan diskresi keliru Termohon antara lain : Mengabaikan asas-asas hukum, yakni asas Ultimum Remedium, asas Prae judicieel geschill (perselisihan peradilan) dan asas Lex specialis derogat legi generalis;
Tindakan Termohon murni kriminalisasi;
Dalam sudut pandang ilmu hukum, kriminalisasi merupakan salah satu studi kriminologi yang mempelajari perilaku individu untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan menelusuri sebab musabab kecenderungan orang melakukan kejahatan.
Dalam konteks inilah pengertian “kriminalisasi” mendapat tempat untuk mengkaji dan menelaah kelakuan manusia, yang pada awalnya perbuatan tersebut belum dirumuskan dalam bentuk norma. Tetapi hanya dicela berdasarkan nilai-nilai kepatutan masyarakat, Hart menyebutnya masih dalam sebatas hukum primer, belum menjadi norma hukum sekunder. Maka dari itu perlu digolongkan sebagai “perbuatan pidana” melalui perumusan dalam norma agar supaya orang yang dianggap melakukan perbuatan kesalahan sesuai dengan prinsip fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas.
Lebih dari pada itu, kriminalisasi sebagai proses perumusan perbuatan menjadi perbuatan pidana tidak semata-mata dalam model pembentukan norma atau perundang-undangan baru saja melainkan dapat pula berupa penambahan/ peningkatan/ pemberatan hukuman pidana yang telah diatur sebelumnya.
Bila menyangkut kriminalisasi terkait dengan asas legalitas atau dalam bahasa latinnya dikenal postulat “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali ketentuan pidana dalam UU yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Inilah makna asas legalitas yang menunjukan bahwa UU harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya (moneat lex, piusquam feriat).
Bahwa dalam penegkan hukum dugaan tindak pidana in casu Pemohon tidak melakukan tindak pidana sebab Pemohon merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang menerbitkan surat keterangan kepemilikan, dan juga pemilik tanah memiliki alas hak dalam pemilikan objek tanah dimaksud. Jika fakta dan peristiwa hukum tersebut dipaksakan menjadi tindak pidana, maka tidaklah berlebihan jika Pemohon menduga Termohon telah melakukan Kriminalisasi;
Petitum;
Bahwa untuk mengkontekskan bunyi Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak. Maka Hakim praperadilan yang terhormat, sekiranya berkenan memutus gugatan Praperadilan in casu dengan amar, demikian :
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; dan atau, apabila Yang Terhormat Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |