Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI AIRMADIDI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Arm JEANE S RUMAGIT, Spd KEPALA KEPOLISIAN RESORT MINAHASA UTARA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 26 Agu. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Arm
Tanggal Surat Jumat, 26 Agu. 2022
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1JEANE S RUMAGIT, Spd
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESORT MINAHASA UTARA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun yang menjadi dasar, fakta, peristiwa dan kaedah hukum permohonan Praperadilan ini, dikonstruksi dan terurai dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

 

Dasar Hukum Permohonan Praperadilan;
Fakta-Fakta dan Peristiwa Hukum;
Penghentian penyidikan tindak pidana in casu tidak sah;
Petitum;

 

Demikian uraian dalil sistematika diatas :

 

Dasar Hukum Permohonan Praperadilan;

 

Bahwa upaya hukum Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak.
Bahwa idealnya tujuan Praperadilan seperti yang termaksud dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakan hukum (kepastian hukum), keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.
Bahwa Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna dan untuk menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang dimaksudkan dalam Konsiderans menimbang huruf (a) dan (c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan sendirinya menjadi Roh KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana  adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibanya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar  1945.

Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP). Ketentuan Pasal 80 KUHAP jo. Putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012 yang selengkapnya berbunyi demikian : Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, dasar hukum yang mendukung Permohonan Praperadilan Pemohon antara lain :

Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum;
Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, M K telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Ketentuan Pasal 80 KUHAP jo. Putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012;
Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Dan,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Hak-Hak Sipil dan Politik;

 

Fakta dan Persitiwa hukum:

 

Bahwa Pemohon merupakan Pelapor dugaan tindak pidana sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021;
Bahwa kemudian melalui pemberitahuan yang tertuang dalam isi Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor B/593/XI/2021RESKRIM, tertanggal 12 November 2021, Pemohon telah diberitahukan jika Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah ditemukan bukti permulaan yang cukup dan telah terjadi tindak pidana;
Bahwa dalam isi surat perkembangan hasil penyelidikan tertanggal 12 November 2021 dapat diketahui juga jika Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah masuk dalam tahapan penyidikan sebagaimana bunyi surat perintah penyidikan nomor : SP.Sidik/126/IX/2021/SA/29/SATRESKRIM, tanggal 12 November 2021;
Bahwa selanjutnya pada pukul 8 (delapan) malam, hari rabu, tanggal 27 Juli 2022 Pemohon di datangi oleh salah satu personil Termohon. Adapun maksud kedatangannya untuk mengantarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Nomor B/502/VI/2022/Reskrim yang isi suratnya menerangkan jika Penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 dihentikan, karena :

Pelapor dan Terlapor memiliki alas hak register tanah Desa Tatelu;
Objek tanah milik dari perempuan Jeane S Rumagit sudah terjual kepada perempuan Selga Wawaoruntu dengan Akta Jual Beli Nomor 127 Tahun 2011;

 

Bahwa setelah kami menelaah alasan penghentian penyidikan Termohon sebagaimana maksud yang tertuang di dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Nomor B/502/VI/2022/Reskrim ternyata alasan penghentian penyidikan terhadap dugaan tindak pidana in casu adalah tidak sah karena bertentangan dengan maksud Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan-peraturan terkait;
Bahwa untuk itu atas penghentian penyidikan terhadap dugaan tindak pidana in casu, maka kami mendaftarkan gugatan Praperadilan ini di Kepanitraan Pengadilan Negeri Airmadidi Minahasa Utara;
Bahwa adapun keberatan-keberatan terkait penghentian penyidikan dimaksud didukung oleh kaedah-kaedah hukum yang terurai di bawah ini :

 

Penghentian penyidikan tindak pidana in casu tidak sah;

 

Bahwa rangkaian tindakan penanganan dugaan tindak pidana oleh Termohon wajib mematuhi administrasi pemberkasan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Rangkaian tindak itu meliputi antara lain, penyelidikan dan penyidikan. 
Penyelidikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya. Maka, dimaknai dari definisi yuridis tentang penyelidikan tersebut maka penyelidikan adalah tindakan awal dalam pengungkapan suatu peristiwa yang diduga peristiwa pidana untuk kemudian dilakukan tindakan penyidikan.
Bahwa dalam proses penyelidikan Termohon telah melakukan langkah-langah lidik dengan berlandasakan pada kaedah hukum yang baik, halmana Termohon telah melaksanakan gelar perkara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa “hasil penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga: a. tindak pidana atau b. bukan tindak pidana”.  Dalam perkara a quo, tersurat dalam Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor B/593/XI/2021RESKRIM, tertanggal 12 November 2021 Pemohon telah diberitahukan jika Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah ditemukan bukti permulaan yang cukup dan telah terjadi tindak pidana. 
Bahwa selanjutnya dalam tingkat penyidikan, Termohon telah menghentikan penyidikan tindak pidana in casu dengan alasan hukum yang keliru. Adapun alasan hukum penghentian penyidikan dimaksud, adalah sebagai berikut :

Pelapor dan Terlapor memiliki alas hak register tanah Desa Tatelu;
Objek tanah milik dari perempuan Jeane S Rumagit sudah terjual kepada perempuan Selga Wawaoruntu dengan Akta Jual Beli Nomor 127 Tahun 2011;

 

Bahwa maksud kekeliruan perihal kaedah alasan hukum penghentian penyidikan tindak pidana in casu adalah sebagai berikut, antara lain :

 

Bahwa Termohon tidak membuat dan/atau melakukan rencana penyidikan sebagaimana amanat Pasal 15 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 “Tentang Penyidikan Tindak Pidana”. Adapun bunyi Pasal dimaksud, adalah sebagai berikut :

Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik wajib membuat rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan Penyidik secara berjenjang.
Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat :

jumlah dan identitas Penyidik;
objek, sasaran dan target penyidikan;
kegiatan dan metode yang akan dilakukan dalam penyidikan;
karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;
waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan;
sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan;
kebutuhan anggaran penyidikan; dan
kelengkapan administrasi penyidikan;

 

Bahwa Termohon tidak mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Airmadidi, oleh karenanya fungsi kontrol terhadap penyidikan tindak pidana in casu tidak ada. Untuk itu tindakan Termohon bertentangan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan arti penting dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). 3 (tiga) hal utamanya yaitu kesesuian dengan asas hukum acara pidana nasional terlebih asas kepastian hukum dan peradilan cepat dan terbuka, jalannya sistem peradilan terpadu (Integrated criminal justice system) dan Pemenuhan hak asasi manusia yang sejak semula menjadi komitmen utama pembentuk KUHAP. Mahkamah dalam pertimbangan putusannya telah berhasil mengelaborasikan kepentingan hukum dengan metode penafsiran yang tepat sehingga menghasilkan terobosan hukum dalam menemukan kebenaran substantif dari Pasal 109 ayat (1) KUHAP. SPDP tidak lagi menjadi monopoli antara Penyidik dan Penuntut Umum tetapi berubah kedudukannya sebagai bukti sekaligus tanda komitmen penegakan hukum yang terbuka dan memenuhi kepastian hukum bagi pelapor/korban dan tersangka/terlapor. Dengan demikian, SPDP menjadi bagian penting yang wajib ada dalam proses peradilan pidana untuk dimintakan kepada penyidik oleh ketiga pihak ini ketika suatu proses perkara pidana berjalan dalam tahap penyidikan. Keberanian Mahkamah dalam membuat pertimbangan putusan dalam permohonan uji konstitusional Pasal 109 ayat (1) KUHAP harus dijalankan dalam perkara permohonan uji konstitusional yang lain. Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 begitu penting dalam mendukung proses penegakan hukum yang berlandaskan pemenuhan hak asasi manusia sehingga pertimbangan hakim ini berikut metode penafsiran yang digunakan patut dijadikan rujukan bagi hakim dalam memeriksa perkara di tiap sistem peradilan yang ada.

 

Putusan No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang amarnya memperbaiki atau melengkapi isi Pasal 109 ayat (1) KUHAP itu, dinyatakan dalam amarnya; “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada puntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.”

Bahwa selanjutnya salah satu tugas dan wewenang yang diberikan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Termohon untuk melakukan penyitaan terhadap benda atau alat yang mempunyai keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan Tersangka telah diatur. Halmana Penyitaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara terpisah dalam beberapa bagian, sebagian besar diatur dalam Bab V bagian ke 4 (empat) Pasal 38 sampai dengan Pasal 48 KUHAP dan Pasal 128 sampai 130 KUHAP serta sebagian kecil diatur pula dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP. Dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP, menjelaskan definisinya yakni: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan”. Dalam penyidikan perkara a quo Termohon tidak melakukan sita atas alat bukti surat sebagaimana bunyi alasan penghentian tindak pidana in casu. Untuk itu, bagaimana mungkin Termohon bisa menilai alat bukti ?, alasan Termohon menghentikan penyidikan tindak pidana dengan berlandaskan pada alasan adanya alat bukti register tanah Desa Tatelu dan Akta Jual Beli Nomor 127 Tahun 2011 cacat hukum. Adapun, tindakan Termohon dimaksud bertentangan dengan :

Pasal 1 butir 16 KUHAP, menjelaskan definisinya yakni: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan”.
Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang menyatakan Tindakan penyitaan oleh penyidik, hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri di daerah penyitaan itu akan dilakukan.
Pasal 43 KUHAP yang menyatakan berkaitan dengan surat atau tulisan yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara. Penyitaan hanya dapat dilakukan atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali Undang-undang menentukan lain.

Termohon tidak melakukan gelar perkara dalam proses penghentian penyidikan tindak pidana in casu. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 30, 31 dan 32 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 “Tentang Penyidikan Tindak Pidana” yang mengatur demikian : (1). Penghentian penyidikan dilakukan melalui Gelar Perkara. (2). Penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan hukum.

(3). Penghentian penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Termohon mengabaikan ketentuan Pasal 11 angka (3) dan (4) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana (“Perkaba Nomor 3 Tahun 2014”) yang mengamanatkan sebagai berikut :

Pasal 11 angka (3) Perkaba Nomor 3 Tahun 2014“Pelaksanaan penghentian penyidikan, penyidik menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKP2) dan ditindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) kepada jaksa penuntut umum, tersangka dan pelapor.”
Pasal 11 angka (4) Perkaba Nomor 3 Tahun 2014 “SKP2 dapat dibuka kembali melalui putusan sidang praperadilan, dan/atau ditemukan bukti baru melalui gelar perkara dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penyidikan (SKP3);

 

Alasan Termohon untuk menghentikan penyidikan tindak pidana in casu keliru sebab alasan Termohon terkait Pelapor dan Terlapor memiliki alas hak register tanah Desa Tatelu dan objek tanah milik dari perempuan Jeane S Rumagit sudah terjual kepada perempuan Selga Wawaoruntu dengan Akta Jual Beli Nomor 127 Tahun 2011 merupakan bagian dari penyelidikan bukan penyidikan halmana dalam penyelidikan telah ditemukan unsur pidana dan alat bukti yang cukup (vide/lihat bukti Pemohon : Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor B/593/XI/2021RESKRIM, tertanggal 12 November 2021 Pemohon telah diberitahukan jika Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah ditemukan bukti permulaan yang cukup dan telah terjadi tindak pidana). Jadi, alasan Termohon menghentikan penyidikan tindak pidana in casu dengan 2 (dua) dalil, yakni :

Pelapor dan Terlapor memiliki alas hak register tanah Desa Tatelu;
Objek tanah milik dari perempuan Jeane S Rumagit sudah terjual kepada perempuan Selga Wawaoruntu dengan Akta Jual Beli Nomor 127 Tahun 2011.

Justru membuktikan jika penyidikan tindak pidana a quo telah memiliki bukti permulaan yang cukup;

Bahwa untuk itu dapatlah disimpulkan jika Penghentian penyidikan oleh Termohon inprosedural dan/atau cacat hukum sebagaimana maksud kaedah hukum yang tertuang dalam poin 5 (lima) huruf A,B,C,D,E dan F diatas. Demi untuk penguatan dalil poin 5 (lima) dimaksud maka demikian tambahan pertimbangan hukum kami :

Menimbang, bahwa bertitik tolak dari makna filosofis dengan lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Karya Agung sebuah bangsa adalah terjamin dan terpenuhinya hak azasi dari manusia yang merupakan  hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, sehingga tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi Tersangka, demikian pula sebaliknya bahwa setiap orang warga Negara Indonesia tanpa terkecuali yang memandang terdapat suatu perbuatan pidana yang dilakukan orang lain, maka berhak setiap saat menempuh jalur hukum guna memperoleh suatu keadilan tidak terkecuali apabila suatu kasus telah diterbitkan SP3 tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku demi penegakan hukum yang menimbulkan efek jera bagi pelaku pidana tentunya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang;

 

Menimbang bahwa dalam penyidikan perkara a quo Pemohon adalah pihak yang telah melaporkan dugaan tindak pidana dimaksud sebagaimana isi Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021;

 

Menimbang sepanjang pemeriksaan Laporan Polisi a quo pada tingkat penyelidikan sampai dengan penyidikan atas Laporan Polisi a quo, Pemohon senantiasa telah bersikap kooperatif untuk membantu pihak Termohon dalam mengungkap dugaan tindak pidana pada Laporan Polisi a quo dengan cara mengajukan saksi-saksi dan menyerahkan segenap dokumen hukum;

 

Menimbang  dalam proses penyelidikan Termohon telah melakukan langkah-langah lidik dengan berlandasakan pada kaedah hukum yang baik, halmana Termohon telah melaksanakan gelar perkara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa “hasil penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga: a. tindak pidana atau b. bukan tindak pidana”.  Dalam perkara a quo, tersurat dalam Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor B/593/XI/2021RESKRIM, tertanggal 12 November 2021 Pemohon telah diberitahukan jika Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah ditemukan bukti permulaan yang cukup dan telah terjadi tindak pidana. 

 

Menimbang dalam tingkat penyidikan Termohon telah mengabaikan fakta-fakta hukum yang ada dalam pemenuhan persyaratan unsur-unsur perbuatan pidana dalam proses pemeriksaan Laporan Polisi a quo. Adapun dengan tidak dipertimbangkannya dan/atau diungkapnya fakta-fakta hukum berdasarkan segenap alat bukti  dan/atau barang bukti yang ada mengakibatkan tidak tercapainya  langkah-langkah Penghentian Penyidikan yang prosedural, terukur, jelas, efektif, efisien sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis karena Penghentian Penyidikan premature halmana dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang memadai dan rasional serta dapat diterima oleh hukum;

 

Menimbang, bahwa seharusnya tindakan Termohon Praperadilan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memang memberikan syarat tambahan bahwa selain dua alat bukti juga harus dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka terlebih dahulu. Dalam uraian pertimbangannya menyebutkan agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum acara pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP  dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in  absentia);

 

Menimbang, bahwa berdasarkan putusan mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka bagi setiap penyidik diwajibkan mencari dua alat bukti permulaan yang cukup yang mengacu kepada ketentuan urutan alat bukti yang diatur di dalam pasal 184 KUHAP dan alat bukti tersebut mempunyai relevansi yang kuat kearah unsur-unsur pasalah yang di laporkan oleh Pelapor (Pemohon);

 

Menimbang, bahwa mencermati syarat terpenuhinya suatu kasus untuk ditingkatkan menjadi suatu perkara yang layak untuk di ajukan ke muka persidangan, maka cukup dengan dua alat bukti permulaan dan penyidik tidak dalam posisi berwenang untuk menentukan suatu kasus terbukti atau tidak, karena untuk menilai suatu perkara terbukti atau tidak adalah menjadi kewenangan Pengadilan. Hal ini harus dipahami oleh setiap penegak hukum bahwa untuk menghindari timbulnya praduga yang negative dari masyarakat, maka sepatutnya setiap perkara yang telah terpenuhi adanya dua alat bukti yang sah, maka sepatutnya perkara tersebut di gulirkan ke muka persidangan untuk di nilai oleh Hakim, sehingga timbul kepastian hukum bagi pihak pelapor maupun pihak Terlapor/tersangka;

 

Menimbang, bahwa selanjutnya pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No.8 Tahun 1981) telah mengatur bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi orang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

 

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 7 (1) huruf i KUHAP, maka penyidik mempunyai wewenang untuk menghentikan penyidikan terhadap suatu perkara yang dilaporkan oleh masyarakat;

 

Menimbang, bahwa untuk selanjutnya kami akan menilai apakah tindakan Termohon menerbitkan SP-3 atas laporan polisi yang diajukan oleh Pemohon telah  sesuai atau tidak dengan prosedur untuk menghentikan suatu penyidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 7 (1) KUHAP Jo pasal 109 (2) KUHAP di hubungkan dengan alat-alat bukti yang bersifat menentukan/sangat relevan terhadap laporan polisi yang pernah diajukan oleh Pemohon;

 

Menimbang, bahwa pada pokoknya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon adalah agar Pengadilan Negeri menyatakan sah atau tidaknya penghentian penyidikan secara materil merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana berkas perkara tidak diupayakan agar dinyatakan lengkap (P-21). Penetapan Tersangka seharusnya dilakukan penyidikan-penyidikan terhadap saksi-saksi terkait sampai penyidikan itu dianggap selesai yang kemudian penyidik menyerahkan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Tetapi Penyidik telah melanggar ketentuan dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP. Karena penyidik tidak ada upaya untuk menjadikan berkas perkara tersebut lengkap (P21);

 

Menimbang, bahwa dengan demikian berdasar uraian diatas dimana Penyidik tidak pernah berupaya untuk melengkapi berkas perkara hingga dinyatakan (P21) akan tetapi telah menerbitkan surat ketetapan penghentian penyidikan dan surat perintah penghentian penyidikan atas perkara dimaksud yang inprocedural sehingga surat ketetapan penghentian penyidikan dan surat perintah penghentian penyidikan dapat dikategorikan cacat hukum;

 

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon  mengajukan bukti surat-surat yang relevan;

 

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP “Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang :

Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana;
Mencari keterangan dan barang bukti;
Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai, menanyakan serta
memeriksa tanda pengenalnya;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

 

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 7 ayat (1) KUHAP “Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang :

Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana;
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan;
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan;
Mengadakan penghentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

 

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut kami berpendapat, Penyidik dalam perkara a quo telah menemukan alat bukti yang cukup atau 3 (tiga) alat bukti yang sah atau alat bukti tersebut telah melewati minimal batas pembuktian berupa 2 alat bukti yang sah yaitu:

1. Keterangan saksi-saksi;

2. Surat;

3. Keterangan Tersangka;

Yang saling bersesuaian yang dapat membentuk satu kerangka peristiwa pidana yang utuh untuk tercapainya kebenaran materil tentang tindak pidana yang terjadi;

 

Menimbang, bahwa KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana telah merumuskan sejumlah hak dan kewenangan dengan berpedoman kepada asas lex certa (jelas) serta asas lex stricta (pasti). Artinya selama tidak dirumuskan secara tegas dalam Undang-Undang maka merupakan pelanggaran terhadap hak dan kewenangan yang telah diberikan apabila dilakukan tanpa berdasarkan Undang-Undang (KUHAP).

 

Menimbang, bahwa hakekat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Untuk itu prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam melaksanakan proses pra ajudikasi dengan berpedoman kepada prinsip penegakan hukum due process of law artinya menegakkan hukum dengan cara tidak melanggar hukum. Karena beralasan hukum, berkeadilan dan berkepastian hukum dan demi perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka terhadap seluruh petitum Pemohon sewajarnya dapat dikabulkan;

 

Menimbang, bahwa tujuan akhir dari proses penegakan hukum dan proses peradilan adalah untuk menemukan keadilan, kebenaran, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut sehingga penegakan hukum harus didasarkan dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang[1]Undang dan berbagai peraturan lain yang mengatur, (due process of law) dalam rangka mewujudkan rasa keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan menurut Undang-undang itu sendiri (legal Justice);

 

Menimbang, bahwa oleh karena itu adanya lembaga Praperadilan adalah sebagai kontrol yang bersifat horizontal dari Lembaga Yudikatif terhadap proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sehingga pada akhirnya diharapkan aparat penegak hukum tersebut tetap bekerja pada ruang dan ruang lingkup yang ditentukan peraturan perundang-undangan;

 

Bahwa guna untuk mematuhi administrasi pemberkasan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan, kami meminta Termohon dapat memperlihatkan isi buku ekspedisi pencatatan kasus, seperti yang dimaksud dalam buku B 1, B2, B3, B8, B12 dan B17. Hal mana dapat menjelaskan tidak adanya dugaan sisipan Nomor Laporan Polisi gelap/Dark Number dan atau menjaga agar kebenaran proses penanganan perkara dugaan tindak pidana in casu telah terdaftar secara resmi. Adapun maksud buku B 1 s/d (sampai-dengan) B 18 diartikan sebagai berikut :

B 1 = Laporan Polisi;
B 2 = Registrasi Kejahatan/Pelanggaran;
B 3 = Registrasi pemberitahuan dimulainya penyidikan;
B 4 = Registrasi panggilan  dan surat perintah membawa;
B 5 = Registrasi surat perintah penangkapan;
B 6 = Registrasi surat perintah penggeledahan;
B 7 = Registrasi surat perintah penyitaan;
B 8 = Registrasi surat perintah penyidikan dan surat perintah tugas;
B 9 = Registrasi buku tahanan;
B 10 = Registrasi berkas tahanan;
B 11 = Registrasi penerimaan dan ekspedisi berkas perkara dari penyidik PNS;
B 12 = Registrasi berkas perkara serta penyerahan tanggung jawab TSK & Barang bukti;
B 13 = Registrasi barang bukti;
B 14 = Registrasi barang temuan;
B 15 = Registrasi pencarian orang dan barang;
B 16 = Registrasi permintaan Visum Et Repertum;
B 17 = Registrasi permintaan izin pemeriksaan;
B 18 = Registrasi surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP);

Bahwa permintaan pembukaan buku ekspedisi yang dimaksud pada poin diatas diungkap karena dalam proses penghentian penyidikan tindak pidana in casu tidak bersandarkan pada hukum acara yang benar, terlihat jelas dalam penanganan perkara in casu Termohon bersikap sangat tertutup sehingga dalam SP3 kami menduga Termohon tidak melaksanakan gelar perkara;  

 

Petitum;

 

Bahwa berdasarkan fakta, peristiwa dan kaedah hukum tersebut diatas sekiranya Hakim Praperadilan Terhormat, berkenan memutus permohonan Praperadilan in casu dengan amar, sebagai berikut :

Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan penghentian penyidikan perkara tindak pidana sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Nomor B/502/VI/2022/Reskrim PREMATURE dan tidak sah;
Memerintahkan kepada Termohon untuk kembali melakukan penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021;
Menyatakan penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor : LP/B/428/VIII/2021/SPKT/Sulut/Res Minut, tanggal 10 Agustus 2021 telah memiliki bukti permulaan yang cukup;
Biaya menurut hukum;

 

Dan atau, apabila Yang Terhormat Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

Pihak Dipublikasikan Ya