Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI AIRMADIDI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2023/PN Arm Andre Ikram Baziat 1.Kepala Kepolisian Republik Indonesia cq Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara cq Kepala Kepolisian Resor Minahasa Utara cq Penyidik Polres Minahasa Utara
2.Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Utara Cq Jaksa eksekutor in casu
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 10 Apr. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Arm
Tanggal Surat Kamis, 06 Apr. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Andre Ikram Baziat
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia cq Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara cq Kepala Kepolisian Resor Minahasa Utara cq Penyidik Polres Minahasa Utara
2Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Utara Cq Jaksa eksekutor in casu
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun yang menjadi dasar dan alasan-alasan permohonan Praperadilan terkait Sah atau tidaknya Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon sebagai berikut :

 

  1. Dasar hukum Permohonan Praperadilan;
  1. Bahwa upaya hukum Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak.
  2. Bahwa idealnya tujuan Praperadilan seperti yang termaksud dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah untuk menegakan hukum (kepastian hukum), keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.
  3. Bahwa Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna dan untuk menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang dimaksudkan dalam Konsiderans menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi Roh KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
  2. Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana  adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibanya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar  1945.
  1. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :
  1. Tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karenan kekliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan,
  2. Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan di pengadian negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77.
  1. Bahwa berpijak pada maksud poin 4 (empat) diatas maka Pemohon menjelaskan sebagai berikut :
  1. Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun Penuntut Umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan seseorang menjadi Tersangka;
  2. Bahwa dengan ditetapkanya seseorang menjadi Tersangka in casu Pemohon tanpa melalui prosuder hukum yang benar sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, maka nama baik dan hak untuk hidup aman Pemohon telah dirampas;
  3. Bahwa akibat tindakan cacat hukum dari Termohon yang menggunakan kewenangannya secara keliru telah mengakibatkan kerugian moril dan materil.
  1. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang menjadi tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diakuti  dengan prosedur yang benar seperti yang ditentukan dalam KUHAP atau Perundang-Undangan yang berlaku. Apabila proses tersebut tidak berjalan dengan baik dan benar maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan harus dibatalkan.
  2. Bahwa adapun penemuan hukum yang bisa menjadi acuan dikabulkanya Permohonan Praperadilan ini antara lain :
  1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
  3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, dasar hukum yang mendukung Permohonan Praperadilan Pemohon antara lain :
  1. Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum;
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  3. Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar;
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
  1. Bahwa dalam praktek Praperadilan, Hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari Penyidik/Penuntut Umum yang dapat menjadi objek Praperadilan. Beberapa tindakan lain dari Penyidik atau Penuntut Umum, antara lain Penyitaan dan Penetapan sebagai Tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan. Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky, tanggal 18 Mei 2011 Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah atau tidaknya Penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta selatan Dengan Pemohon Komjen Pol. Drs. Budi Gunawan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel, yang juga telah menjatuhkan putusan menerima Permohonan Pemohon atas penetapan Komjen Pol. Drs. Budi Gunawan sebagai Tersangka oleh KPK dan Pemohon Hadi Purnomo dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,nomor 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain "Tidak sah menurut hukum tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka".
  2. Bahwa beberapa contoh putusan Praperadilan tersebut tentunya dapat dijadikan rujukan dan yuriprudensi dalam rnemeriksa perkara Praperadilan atas tindakan penyidik/penuntut umum yang pengaturannya di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika kesalahan/kekeliruan pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang- wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan.
  3. Bahwa berdasarkan dalil-dalil diatas maka PEMOHON menjelaskan sebagai berikut:
  1. Bahwa tindakan lain dalam Praperadilan yang tidak termaksud sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP akan tetapi telah dilakukan temuan hukum baru oleh Hakim yang menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun Penuntut Umum diantaranya berupa Penggeledahan, Penyitaan, maupun Penetapan seseorang menjadi Tersangka;
  2. Bahwa Penetapan seseorang sebagai Tersangka, khususnya dalam perkara ini adalah PEMOHON yang dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II akan menimbulkan akibat hukum berupa pembunuhan karakter dan terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in casu PEMOHON;
  3. Bahwa dengan ditetapkannya PEMOHON menjadi Tersangka dan kemudian dilakukan Penangkapan tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu PEMOHON telah dirampas dan TERMOHON jelas-jelas telah melakukan pembunuhan karakter apalagi mengingat PEMOHON adalah seorang warga negara yang patuh terhadap hukum yang berlaku;
  1. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP dan BAB XII secara tegas dan jelas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh para penegak hukum (Penyelidik/Penyidik dan Penuntut umum) sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang wenang dengan maksud dan tujuan lain diluar yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan Hak Asasi setiap manusia/orang termasuk dalam hal ini adalah PEMOHON

 

  1. Alasan Permohonan Praperadilan;
  1. Fakta-Fakta;
  1. Bahwa Pemohon adalah warga Negara Republik Indonesia yang dijamin kehidupanya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 :

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;

  1. Bahwa, Pemohon lahir pada tanggal 9 April 2005 pada saat pengajuan permohonan a quo masih berusia belum genap 18 tahun, sehingga masih dikategorikan sebagai anak-anak yang mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak;
  2. Bahwa Pemohon di tangkap oleh Termohon I dan Termohon II serta di tahan dalam tahanan rumah tahanan negara sejak tanggal 25 Januari 2023 sampai dengan 25 April 2023;
  3. Bahwa dalam hal penahanan yang dilakukan termohon I kepada Pemohon, Termohon I tidak memberikan surat Pemberitahuan terhadap orang tua yang berarti tidak sesuai dengan perintah Pasal 18 ayat (3) KUHAP bahwa tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus diberikan kepada Keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan;
  4. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya  yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.160), sebagaimana kami simpulkan, bahwa hal ini adalah untuk kepastian Hukum bagi keluarga pihak yang ditangkap, sebab pihak keluarga dan tersangka mengetahui dengan pasti hendak kemana tersangka dibawah dan diperiksa. Pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga yang disampaikan secara lisan dianggap TIDAK SAH karena bertentangan dengan ketentuan Undang-undang. Pemberian tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka ditinjau dari segi ketentuan hukum adalah merupakan kewajiban pihak penyidik;
  5. Bahwa dalam hal Termohon I melakukan penahanan terhadap Pemohon, Termohon I tidak memberikan tembusan surat Penahanan yang harus diberikan kepada Keluarga dari orang yang ditahan. Perbuatan termohon I merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan Perintah Pasal 21 ayat (3) KUHAP;
  6. Bahwa Pemohon di tahan karena di duga telah melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak dibwah umur sebagaimana dimaksud dalaam pasal 82 ayat (1) undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;
  7. Bahwa Pemohon di tetapkan sebagai Tersangka atas Laporan Polisi, serta surat penahanan yang di keluarkan atau di tetapkan oleh Kepolisian Resort Minahasa Utara;
  8. Bahwa Termohon I dan II sudah mengetahui umur pemohon yang sebenarnya masih di bawah umur namun mereka tetap memaksakan dan mengikuti kesalahan pencatatan sipil sehingga melanggar hak pemohon;
  9. Bahwa Termohon I dan II bertindak tidak profesional dikarenakan pemohon masih bersatus anak di bawah umur namun tidak di terapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak namun di terapkan hukum bagi orang yang sudah dewasa;
  10. Bahwa, dalam proses penyidikan oleh Termohon I dan II tidak dilakukan upaya diversi sebagaimana diwajibkan oleh UU, hal ini sangat merugikan Pemohon. Sebab ketentuan diversi diwajibkan untuk Pemohon;
  11. Bahwa pemohon saat diduga melakukan tindak pidana masih berstatus pelajar kelas XI (sebelas) di SMK Immanuel Laikit;
  12. Bahwa pemohon pada faktanya disaat diduga melakukan tindak pidana cabul anak dibawah umur,masih berumur 17 tahun tapi pada faktanya pemohon ditangkap dan ditahan dengan ketentuan hukum orang yang telah dewasa;
  13. Bahwa Penahanan yang dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II sudah menghilangkan asas Praduga tak bersalah karena tetap melakukan Penahanan yang berkepanjangan kepada Pemohon tanpa mempertimbangkan status Pemohon sebagai Pelajar yang dalam waktu dekat akan menghadapi UAN;
  14. Bahwa Pemohon sudah ditahan sejak 25 januari 2023 dan sampai permohonan ini diajukan belum ada kepastian Hukum yang akhirnya melanggar hak tersangka sesuai Pasal 50 KUHAP (1) tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum (2) tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan, serta  merenggut hak atas kepastian hukum warga negara yang tentunya bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
  15. Bahwa pada dasarnya kami selaku Penasihat hukum ingin mengajukan Permohonan penetapan di Pengadilan tentang perubahan identitas (tahun lahir & umur pemohon) yang sesuai dengan fakta dan kebenarannya, tetapi Pemohon masih ditahan dalam proses penyidikan & penuntutan;
  16. Adapun uraian singkat perkara menurut termohon I dan termohon ll sebagai berikut; bahwa pemohon pada hari selasa tanggal 20 desember 2022 sekitar jam 02;00 WITA bertempat dirumah pemohon di desa Dimembe jaga 2 kecamataan dimembe kabupaten minahasa utara , telah melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur;
  17. Bahwa tempat kejadian serta waktu dan tanggal tersebut diatas telah terjadi juga suatu tindak pidana  yang dilakukan oleh anak terpidana (revaldo vincensius donsu) berdasarkan putusan pengadilan negeri Airmadidi nomor 5/Pid.Sus-Anak/2023/PN Arm, dan telah berkekuatan hukum tetap;

 

  1. Agrumentasi Hukum

Adapun agrumentasi hukum kami selaku penasehat hukum terkait fakta-fakta yang telah kami uraikan di atas yang mungkin bisa  menjadi pertimbangan hukum bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo dalam memutuskan perkara ini sebagai berikut:

  1. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah sebuah “negara hukum”. Para penyusun UUD 1945 menjelaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Digunakannya istilah “rechtsstaat” ini menunjukkan bahwa para penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum di Jerman di masa itu. Julius Sthal, seorang ahli hukum Jerman, menyebutkan ada tiga ciri negara hukum dalam konsep “rechsstaat” itu, dua diantaranya ialah “perlindungan terhadap hak asasi manusia” dan “pemerintahan haruslah berdasarkan atas Undang-Undang Dasar”. Sementara para penyusun UUD 1945 tegas mengatakan bahwa negara Republik Indonesia tidaklah berdasarkan atas “kekuasaan belaka” atau “machtsstaat” yang dalam Bahasa Jerman mengandung arti negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan, bukan berdasarkan atas hukum.
  2. Bahwa, dalam sistem hukum pidana nasional, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sebagaimana dijelaskan dalam KUHAP Pasal 1 angka 2.
  3. Sedangkan Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dalam sidang peradailan, kecuali dalam kasus korupsi Jaksa juga bisa menjadi penyidik. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juncto Pasal 284 KUHAP.
  4. Bahwa, guna untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik diberikan kewenangan melakukan penahanan, sementara Jaksa Penuntut Umum tidak hanya diberikan kewenangan melakukan penahanan tapi juga persetujuan perpanjangan panahanan terhadap tersangka.
  5. Bahwa, kenapa Tersangka harus ditahan, hal ini dengan argumentasi baik penyidik maupun JPU tidak terhalangi saat melakukan pemeriksaan,dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
  6. Apakah itu penahanan? makna penahanan telah dijelaskan dalam KUHAP Pasal 1 angka 21 yang menyatakan; Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 22 KUHAP (1) Jenis penahanan dapat berupa:

a. penahanan rumah tahanan negara;

b. penahanan rumah;

c. penahanan kota.

  1. Bahwa, seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan, seolah-olah berada di dalam suatu ruang gelap dan tidak berdaya sama sekali. Mereka merasakan penderitaan karena merasa sangat tidak berdaya karena tiba-tiba direnggut kemerdekaannya dan dimasukkan tahanan, dan sama sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar termasuk keluarga.
  2. Bahwa, makna penahanan, baik yang diatur KUHAP maupun pidana penjara pidana pokok dalam Pasal 10 huruf a angka 2 KUHP hakekatnya sama yaitu menempatkan seseorang dalam tempat tertentu, dengan menghilangkan kemerdekaan seseorang tersebut. Artinya jika seorang Terdakwa yang sebelumnya sudah ditahan oleh Penyidik, atau JPU dan diputus bersalah oleh Hakim, maka putusan hakim hanya menguatkan tindakan yang dilakukan oleh Penyidik maupun JPU. Artinya Hakim hanya menjadi tukang stampel terhadap tindakan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik maupun JPU.

Pasal 10 huruf a KUHP a. pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

  1. Bahwa, karena penahanan dan penjara baik makna dan implementasi sama. Misalnya ruang penahanan di kepolisian, ruang penahanan di rumah tahanan negara maupun ruang tahanan di lembaga pemasyarakan hakekatnya sama. Dimana seseorang yang ditahan kemerdekaannya dirampas. Tahanan maupun nara pidana harus mengikuti semua aturan yang ada. Sehingga kemerdekaannya menjadi hilang. Karena ini menyangkut perampasan kemederkaan kemanusiaan, maka yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim, bukan Penyidik maupun JPU.
  2. Bahwa KUHAP berlaku tidak adil, di satu sisi Penyidik diberikan kewenangan melakukan penyitaan barang, namun harus mendapat persetujuan Pengadilan sebagai sarana control praktek penyitaan agar tidak sewenang-wenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 KUHAP yang menyatakan; (1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya tetapi kenapa dalam persoalan penahanan yang dilakukan oleh penyidik dan JPU, KUHAP tidak mewajibkan ijin Ketua Pengadilan?
  3. Pertanyaannya, jika seseorang, tersangka koorperatif, tidak mempersulit penyidikan, tidak melarikan diri dalam penyidikan, penyidik maupun JPU tetap saja bisa melakukan penahanan. Faktanya seringkali kewenangan penahanan menjadi sarana transaksional, tergantung selera dari Penyidik maupun JPU menahan atau tidak terhadap Tersangka. Tersangka tidak diberikan hak untuk membela diri agar tidak dilakukan penahanan. Sarana Praperadilan tidak berarti sepanjang semua prosedur formal penahanan telah dilalui. Sebab hakim praperadilan akan mengatakan bahwa penahanan adalah kewenangan subjektif yang diberikan UU kepada Penyidik dan JPU.
  4. Bahwa, yang lebih lucu lagi, jika Tersangka ditahan oleh Penyidik, dan dalam penyidikan prosesnya belum selesai sehingga, harus meminta perpanjangan penahanan kepada JPU, tiba-tiba JPU memberikan persetujuan perpanjangan penahanan tanpa pernah bertemu dengan Tersangka, apakah Tersangka kondisi sehat? Apakah tersangka, kooperatif dalam penyidikan atau tidak, semua permohonan perpanjangan penahanan langsung disetujui oleh JPU. Padahal penahanan ini adalah hak asasi manusia yang dirampas oleh Penyidik, tapi JPU dengan seenaknya memperpanjang tanpa pernah menanyai keberatan-keberatan Tersangka atas penahanan a quo;
  5. Bahkan lebih parah lagi dalam hal ini tersangka masih di bawah umur dan di lakukan penahanan untuk orang dewasa bagaimanakah nasibnya? Bagaimanakah sekolahnya dan bagaimanakah  masa depannya? Apakah Negara akan bertanggung jawab terhadap anak di bawah umur tersebut? Atau kita sebagai penegak hukum hanya diam saja dan berharap seolah-olah keadilan di tegakkan???
  6. Bahwa, penahanan terhadap anak Pemohon, tentu sangat merugikan hak konstitusional anak Pemohon. Dengan ditahannya anak Pemohon, akhirnya anak Pemohon tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal sebentar lagi anak Pemohon menjalani UNAS. Pemohon meyakini penahanan a quo hakikatnya adalah penghukuman terhadap anak Pemohon. Sementara Pemohon meyakini yang berhak melakukan penghukuman adalah hakim, bukan penyidik maupun JPU.
  7. Bahwa, penahanan terhadap anak Pemohon yang dilakukan oleh Penyidik dan JPU, sama saja mereka tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, tidak menggunakan prinsip bahwa sebulum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah.
  8. Jadi menurut Pemohon, kewenangan penahanan adalah mutlak milik Hakim, bukan Penyidik maupun JPU. Sebab hakimlah yang berwenang atas nama keadilan bisa merampas kemerdekaan seorang Tersangka atau Terdakwa. jadi Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  9. Bahwa, dalam rancangan KUHAP, sudah mengatur perubahan kewenangan penahanan, dengan memasukkan hakim Komisaris sebagai lembaga yang berwenang melakukan penahanan pada tingkat penyidikan. Ini menunjukkan jika pada Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) inkonstitusional, sebab kewenangan hakim diambil oleh penyidik dan JPU.
  10. Bahwa, Rechter Commisaris ini terdapat juga di Indonesia pada saat diberlakukanya Reglement op de Strafvordering, ialah yang diatur dalam title kedua tentang ’Van den regter commissaris en van de voorloopige information’. Fungsi Regter Commissaris yang terdapat di dalam Reglement op de Strafvordering yang kami sebutkan diatas meliputi juga fungsi ’Investigating’, seperti memanggil tersangka (Pasal 47 R.sV.) memanggil para saksi (Pasal 46 R.sV.) memerintahkan untuk melakukan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal 62 R.sV.), bahkan apabila saksi maupun tersangka dengan alasan sakit yang diperkuat dengan keterangan dokter tidak dapat memenuhi panggilan Rechter Commissaris, maka Regter Commissaris dapat mendatangi ke rumah para saksi maupun rumah tersangka (Pasal 56 R.sV.).
  11. Hanya saja setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, Regter Commissaris tidak didapati lagi di dalamnya. Jadi sebenarnya suatu lembaga hakim yang telah berperan aktif di dalam fase pemeriksaan pendahuluan bukanlah merupakan suatu hal yang baru bahkan di Indonesia sendiri, hanya saja setelah lama kita memberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) maka seolah-olah adanya suatu hakim yang aktif dalam fase pemeriksaan pendahuluan adalah merupakan suatu hal yang baru.
  12. Bahwa, Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan; dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Bahwa, pasal a quo jelas merugikan anak Pemohon, lembaga praperadilan adalah sarana menguji atas tindakan penyidik terhadap penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan sebelum menyangkut pokok perkara.
  13. Bahwa, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan Undang-Undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undangundang merupakan perampasan terhadap hak asasi tersangka.
  14. Bahwa, praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UndangUndang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun.
  15. Bahwa, lembaga yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada lembaga praperadilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2002:4).
  16. Asas Kepastian Hukum (rechtmatigheid) dari sisi Yuridis, Asas Keadilan Hukum (gerectigheit) dari sudut filosofis, Asas Kemanfaatan Hukum (zwech  matigheid/doelmatigheid/utility) yang bilamana kita melihat kasus ini memakai kaca mata penerapan asas di atas, seharusnya Termohon I  lebih jelas, logis dan jelih dalam menerapkan Hukum yang diberlakukan terhadap Pemohon yang tidak hanya melihat diatas kertas namun betul-betul mempertimbangkan fakta bahwa Pemohon masih digolongkan Anak yang berhadapan dengan Hukum agar sesuai dengan kepastian hukum yang akan diterima olehnya, sehingga pemohon (anak yang berhadapan dengan hukum) menerima penerapan hukum yang dinilai betul-betul adil baginya sesuai Asas Keadilan Hukum, sehingga dapat tercapainya Kemanfaatan Hukum bagi Pemohon.
  17. Dalam konteks penentuan umur bagi orang yang melakukan perbuatan Pidana, das solen dapat merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak berwenang dalam menentukan hukuman bagi pelaku kejahatan. Dalam hal ini, das solen  berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Sementara itu, das sein berkaitan dengan keberadaan fakta-fakta yang terkait dengan perbuatan Pidana tersebut, seperti bukti-bukti yang mendukung atau meragukan usia Pelaku Kejahatan. Dalam hal ini das sein penting dalam menentukan apakah seseorang dianggap dewasa atau dibawah umur menurut Undang-undang yang berlaku. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa penentuan usia dalam konteks peradilan pidana dapat memiliki implikasi yang sangat serius terhadap hidup seseorang, terutama jika ia dianggap sebagai anak dibawah umur. Oleh karena itu proses penentuan usia harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
  18. Bahwa berdasarkan fakta yang kuasa hukum uraikan dikaitkan dengan pengertian tersebut diatas (angka 24 & 25) Termohon I tidak dengan hati-hati menentukan penerapan Hukum  dalam melakukan penahanan terhadap pemohon, Sehingga telah melanggar prinsip-prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi dari Pemohon, mengakibatkan ketidak adilan yang dirasakan langsung oleh Pemohon yang berujung tidak tercapainya kemanfaatan Hukum.
  19. Terakhir sebagai pengingat bahwa upaya yang  kami selaku kuasa hukum lakukan ini adalah pemenuhan Hak yang disediakan oleh Undang-undang melalui lembaga Praperadilan bukan sebagai upaya untuk melakukan perlawanan, melainkan membantu kerja dan fungsi sebagai sesama Penegak Hukum dalam menegakan aturan yang sesuai dan dianggap Adil bagi Pihak-pihak yang terlibat dalam perkara sebagai pemenuhan Hak bagi setiap orang yang dijamin dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia.
  1. PETITUM

Berdasarkan uraian yang kami sampaikan di atas, kami percaya pada Pengadilan Negeri Airmadidi yang mau mewujudkan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi melayani bisa memberikan keadilan bagi orang yang mencari Keadilan. Oleh karena itu, kami memohon Kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan Mengadili Perkara a quo ini dapat menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon I dan Termohon II yang melakukan penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon dengan dugaan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak dibwah umur sebagaimana dimaksud dalaam pasal 82 ayat (1) undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, adalah TIDAK SAH dan TIDAK BERDASARKAN HUKUM;
  3. Menyatakan TIDAK SAH segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon I yang berkenaan dengan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon;
  4. Menyatakan menurut hukum Pemohon masih dibawah umur;
  5. Menyatakan menurut hukum bahwa proses penyidikan terhadap Pemohon tidak memenuhi syarat hukum atau adanya pelanggaran Hak Anak;
  6. Memerintahkan kepada Termohon I dan Termohon II untuk menghentikan Penyidikan terhadap Pemohon;
  7. Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  8. Menghukum Termohon I dan II bersama-sama membayar uang ganti kerugian sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah);

 

Atau sekiranya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono

Pihak Dipublikasikan Ya